Rabu, 13 Januari 2016

Elegi untuk Karin (edisi revisi)

Dikirim ke sayembara cerpen dalam acara antologi Simposium Internasional Bahasa Indonesia pada bulan April 2011. Yang sampai sekarang, hasil antologinya belum juga aku terima. Tidak ada kejelasan.


Karin terbujur lemah di atas tempat tidurnya. Selang insuf menancap tembus nadi di pergelangan tangannya yang kini tampak kurus. Selang pernafasan menyumbat mulutnya agar memudahkannya bernafas. Sepasang alat pendeteksi jantung menempel erat di dadanya dan terhubung pada monitor detak jantung yang terletak di samping tempat tidurnya. Kini, dia tampak bukan Karin yang selama ini aku kenal. Entah ke mana Karin, sahabatku itu. Sudah sebulan ini, aku tidak lagi melihat senyum, canda, dan tawanya. Aku hanya melihat sosoknya yang terbaring di tempat tidur dengan mata terpenjam. Wajahnya yang selalu dihiasi senyum dan tawanya yang riang, kini tampak pucat dan tirus. Karin, kau terlihat begitu menderita. Betapa kejamnya penyakit yang menggerogotimu.

“Tante,” sapaku kepada wanita berwajah lesu yang duduk di samping Karin. Dia adalah ibu Karin, wanita kuat yang sabar dan tegar menanti anaknya terbangun dari mimpi panjangnya. “Gana. Kamu datang lagi untuk menjenguk Karin?” tanyanya terkejut dengan kedatanganku. “Iya, Tante. Apa ada perkembangan tentang kondisi Karin?” Aku memandang wajah Karin yang masih tertidur. Tante Margaret hanya menggelengkan kepala pelan. Kesedihan terpancar dari wajahnya yang sayup karena kurang istirahat.

“Duduklah, Gana. Ajaklah Karin bercakap-cakap. Tante keluar sebentar membeli makanan. Apa kamu sudah makan?” “Sudah, Tan. Tante makan saja biar saya yang menjaga Karin,” kataku. Tante Margaret mengangguk, kemudian, melihat Karin sejenak sebelum meninggalkan kamar. Aku menaruh pohon hias kaktus kecil di sudut jendela kamar. Tanaman yang sangat disukai Karin. Aku menatap keluar jendela dan melihat hamparan lukisan bumi di luar kamar ini. Langit mendung seakan menahan lara. Kubuka jendela sedikit dan aku biarkan angin menyapu wajahku.

Aku memandang Karin, mengamati wajahnya, dan rasa prihatin menggelayuti hatiku. Aku duduk di sampingnya, memandang wajahnya lekat-lekat.  Wanita yang telah menjadi sahabatku sejak duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi masih tetap tertidur dan mengabaikan orang-orang yang datang menjenguknya. “Tuhan, mengapa semua jadi begini? Dapatkah aku melihat senyumnya kembali?” tanyaku pada diri sendiri. Aku masih memandang wajahnya, berharap dia bangun dari tidur panjangnya.

Aku mengeluarkan sepasang amplop putih panjang dari saku jaketku. “Karin. Hari ini, surat pengumuman penerimaan beasiswa ke Paris telah sampai. Apa kamu tidak ingin tahu apa isi suratnya?” tanyaku kepadanya seakan-akan dia sedang mendengarkanku. Aku tunjukkan surat itu dan kugenggam jemarinya. Berharap, ada respon darinya. “Akhirnya, setelah menunggu empat bulan, aku lulus seleksi. Aku mendapatkan beasiswa itu, Karin. Aku tidak mengira kalau aku lulus semua tahap seleksi. Semua berkat kamu. Apa kamu senang mendengar kabar ini?” tanyaku yang tidak mendapat tanggapan darinya. “Apa kamu tahu, Karin? Ada satu surat lagi yang dikirim bersama suratku. Surat itu untukmu. Kamu juga lulus seleksi. Kamu mendapatkan beasiswa ke Paris, sama sepertiku. Bersama-sama, kita kuliah ke Paris. Apa kamu mendengarku?” Aku menghembuskan nafas karena masih tidak ada tanggapan dari Karin. Kualihkan pandangan ke langit mendung di luar. Memutar kembali ingatanku akan peristiwa yang telah terjadi. Peristiwa saat canda, tawa dan senyum menghiasi hari-hariku dengan Karin.

Aku dan Karin telah lama berteman sejak kelas dua SMP. Aku masih ingat saat Karin selalu duduk di bagian belakang kelas. Dia tidak pernah berubah hingga jenjang kuliah. Namun, prestasinya terdepan. Itu yang membuat aku tidak ingin kalah darinya.

Hubungan kami sangat dekat hingga kami dijuluki amplop dan perangko. Kebersamaan di antara kami menimbulkan suatu perasaan padaku, tapi Karin mencintai pria lain. Anggara, pria yang dicintai Karin sejak awal kuliah. Aku memilih memendam perasaanku dan tidak ingin merusak persahabatan kami. Namun, aku tidak melihat kebahagiaan di wajah Karin. Karin menjadi pendiam dan pemurung sejak dia mulai berpacaran dengan Anggara. Tidak hanya saat itu, aku sering melihatnya dalam keadaan berantakan. Suatu hari, dia datang ke kosanku. Wajahnya sendu, seperti menanggung beban yang berat.

 Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Aku berusaha menanyakan apa yang terjadi padanya, tetapi dia hanya menangis. Aku biarkan dia menangis, meluapkan segala emosi yang dirasakannya. Teh hangat kuberikan kepadanya untuk sedikit menenangkan hatinya. Aku bertanya lagi kepadanya saat dia sudah tenang. Aku pun terkejut dengan apa yang dia katakan.

Karin baru saja dipukuli oleh ayahnya. Sejak kapan, ayah Karin yang aku kenal baik, ramah, dan lembut berubah menjadi sesosok yang mengerikan. Sulit aku percaya atas apa yang Karin katakan. Spontan, aku memegang lengannya. Sontak, Karin mengaduh dan melepaskan lengannya dariku. Aku curiga. Kudekati dia, berusaha mencari jawaban atas kecurigaanku. Kugapai dan kugulung lengan bajunya. Luka-luka memar menghiasi lengannya. Tetiba ratusan sengatan listrik mengalir dalam tubuhku saat aku melihat lengan Karin yang penuh luka lebam. Tidak hanya di lengannya, Karin menunjukkan kepadaku luka memar di bagian tubuhnya yang lain. Kepala terasa ringan dengan segala kejutan yang baru kulihat.

Karin menceritakan lebih jelas atas apa yang telah menimpanya. Dia bercerita bahwa sejak masuk kuliah, orang tuanya sering bertengkar.  Ayahnya berubah sikap. Dia menjadi pemarah semenjak dipecat dari tempat kerjannya, sedangkan Tante Margaret, ibu Karin, naik jabatan menjadi direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Ayahnya tidak segan-segan memukul Tante Margaret saat marah. Bahkan, Karin juga mengalami kekerasan tanpa sepengetahuan sang ibu. Terlebih lagi, setelah ibunya mengajukkan permohonan perceraian ke lembaga agama dan hukum.

Aku tidak mengira selama ini dia menanggung beban seberat itu. Karin merahasiakan hal ini dari siapa pun, termasuk Anggara. Sikapnya yang tiba-tiba menjadi pemuruh merupakan cerminan dari luka di hatinya atas pertikaian orang tuanya. Luka-luka itu juga merupakan saksi bisu dari kekerasan yang diterimanya.

 Ke mana saja aku selama ini? Walau kami masih sering bertemu, kami tak banyak bercerita selain percakapan impian kami untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Kini, saat sahabat sekaligus orang yang aku cintai menderita, aku tidak mengetahuinya. Aku menjaga jarak darinya sejak dia berpacaran dengan Anggara yang saat ini tidak tahu di mana keberadaannya. Aku mendengar isu yang beredar di kampus bahwa Anggara dan Karin telah putus karena Anggara selingkuh dengan mahasiswi kampus lain. Namun, aku kira itu cumalah isu. Kini, Karin menceritakan semua segala beban yang selama ini dia pendam kepadaku.

Esok harinya, aku tidak menemukan Karin. Ini membingungkanku. Semalam, Karin tetap bersikeras untuk pulang. Aku mengantar Karin sampai depan pintu rumahnya. Rumahnya sunyi. Tak terdengar adanya orang di dalam rumahnya. Namun, aku enggan meninggalkan tempat itu, tetapi Karin menyakinkanku bahwa ia akan baik-baik saja. Kini, ia tidak tampak di kampus. Aku sudah mencarinya ke sudut-sudut kampus, tetapi nihil. Aku putuskan untuk ke rumahnya, berharap ia ada di sana.

Kesunyian dan kehampaan melingkupi rumah Karin. Rumah ini serasa berbeda saat aku kunjungi sewaktu sekolah menengah atas. Kuketuk pintu rumahnya, tidak ada tanggapan dari dalam. Aku berusaha melihat dalam rumah Karin dari kaca pintu yang tirainya sedikit tersingkap. Kosong, tak ada orang. Aku ketuk pintunya lagi, tetapi tetap sunyi. Kupegang gagang pintu, berharap pintu tidak dikunci. Ternyata, pintunya memang tidak dikunci. Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Kulihat ruang tamu yang lenggang. Kupanggil Karin berkali-kali sambil melangkah masuk ke ruang tengah.

Sosok tubuh terbujur telungkup di dekat pintu kamar dengan pecahan kaca berhamburan di sekitarnya. Aku mematung sesaat, mengumpulkan kesadaranku kembali. Kemudian, aku berjalan mendekati, berusaha mengetahui sosok itu. Betapa terkejutnya aku. Sosok itu tidak lain adalah Karin. Kepalanya berdarah. Beberapa serpihan kaca menancap di kulit wajahnya. Aku memanggil-manggil namanya, tapi tidak ada sahutan. Tanpa berpikir panjang, aku membopong Karin dan membawanya ke rumah sakit. Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan jeritan seorang wanita yang bertemu dengan kami di depan pagar rumah. Tante Margaret, ibu Karin, mematung di depan kami. Dia terpaku memandang Karin. Aku menyadarkannya untuk bergegas membawa Karin ke rumah sakit. Seperti dihentakan ke bumi setelah terlempar ke langit, Tante Margaret tersadar. Dia membantuku memasukkan Karin ke dalam mobil dan membawa ke rumah sakit.

Dokter membawa Karin ke ruang UGD. Aku dan Tante Margaret menunggu di luar ruangan UGD. Kami terdiam, tapi aku tahu betapa gelisahnya Tante Margaret. Dia meremas-remas jemarinya sambil menunggu kabar dari dokter yang sedang memeriksa Karin di dalam. Cukup lama kami terdiam hingga Tante Margaret mulai bercerita. Cerita Tante tidak jauh berbeda dengan apa yang telah Karin ceritakan padaku.

“Tadi malam, kami bertengkar hebat. Karin berusaha melerai kami. Tapi, Om sangat marah, dia kalap. Tante menyelamatkan diri dengan lari dari rumah saat ada kesempatan. Tante tidak mengira kalau Karin menjadi lampiasan kemarahan dan amukan ayahnya. Tante merasa bersalah. Andai Tante tidak pergi dari rumah, Karin tidak akan seperti ini biar Tante saja yang mengalami semua ini, biar Tante saja yang mati!” Tante Margaret terguncang. Dia tak henti-hentinya menangis.

Aku menghembuskan nafas. Hujan turun membasahi bumi dan kaca jendela kamar inap Karin. Hujan ini melambangkan luka dan duka di hatiku. Sudah satu bulan peristiwa itu berlalu. Karin belum juga sadar dari koma. Aku tidak tahu kabar pasti tentang ayah Karin. Tante Margaret bilang padaku bahwa dia telah melaporkan apa yang menimpa Karin kepada polisi.

Entah kapan aku dapat melihat Karin menatapku sambil tersenyum atau tertawa lagi. Aku terus menanti saat itu terjadi, tapi wajah pucat dengan mata terpenjam yang selalu aku temui. Aku merindukanmu, Karin. Aku tidak bisa tanpa melihatmu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Cukup saat aku meninggalkanmu, aku melihatmu dalam keadaan yang mengerikan. Nyawamu hampir melayang. Aku hampir kehilanganmu walau kini aku kehilangan senyumanmu. Beasiswa itu, aku tidak tahu harus bagaimana. Karin, aku mohon bangunlah. Aku pun membacakan puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono yang sering Karin bacakan untukku.

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

Jari Karin bergerak. Aku yakin sesaat aku merasakan ada gerakan di jarinya. Aku menatap jemarinya, menyakinkan diri akan perasaanku. Jari Karin bergerak perlahan diikuti dengan kelopak matanya yang membuka perlahan. Aku menyaksikan kebangkitan Karin. Dengan perlahan, dia membuka matanya dan menatapku. Karin sadar dari tidur panjangnya.

Hamparan rumput yang menutupi tanah sekitar area pemakaman bergoyang perlahan dipermainkan angin yang bertiup pelan. Sunyi, tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara. Semua menangis dalam diam mengiringi kepergian Karin begitupula angin ini. Angin yang bertiup lembut sangat disukai Karin. Angin itu pula yang bertiup perlahan membelai setiap orang yang datang ke pemakamannya. Air mataku mengalir perlahan di pipiku. Aku tidak sanggup menahan alirannya. Rasa sedih menyelimuti hatiku. Penantian panjang. Usai sudah. Mungkin, ini yang terbaik untuk Karin dan mungkin untukku juga.

Karin sempat sadar dari koma. Dia membukakan matanya, memandangku dalam keheningan yang cukup lama. Lalu, dia tersenyum padaku. Gana. Hanya itu yang dia ucapkan sambil tersenyum kembali kepadaku. Manis sekali, senyum yang aku rindukan itu kini dapat aku lihat lagi. Namun, Karin memenjamkan matanya kembali. Monitor deteksi detak jantung berbunyi melengking. Garis kurva berganti dengan garis lurus menghiasi monitor. Aku mematung melihat semua itu. Senyumku hilang. Cemas dan takut memenuhi hatiku. Bergegas, aku memanggil dokter. Dokter datang bersama Tante Margaret yang terlihat panik. Dokter menyuruh aku dan Tante Margaret menunggu di luar. Aku menenangkan Tante Margaret dan berusaha bersikap tenang walau hatiku sangat gundah. Dokter keluar dari kamar Karin. Wajahnya sendu. Dokter mengatakan kepada kami bahwa Karin tidak dapat diselamatkan. Dia telah pergi untuk selamanya.


Sulit untukku menerima kenyataan pahit ini. Sahabatku yang sangat kucintai telah pergi untuk selamanya. Surat penerimaan beasiswa untuknya, aku simpan sebagai kenangan atas dirinya. Aku tidak akan melupakanmu, Karin. Aku akan meneruskan cita-cita yang pernah kita rangkai. Aku akan mewujudkannya agar kamu dapat tersenyum melihatku dari atas langit. Sahabatku tersayang, Karin. Kamu akan selalu hidup dalam hatiku.

Kamis, 07 Januari 2016

Dunia Modern, Dunia Kuno


Pernahkah Anda berpikir bahwa diri Anda adalah manusia-manusia modern? Lalu, landasan apa yang membuat Anda berpikir sebagai manusia modern? Apakah karena Anda hidup di dunia kecanggihan teknologi dan keterbukaan dalam mengakses segala informasi, pendidikan, maupun kesehatan?


Saya sendiri pun mengganggap diri saya sebagai manusai modern. Bagaimana tidak? Saya hidup di tengah-tengah kecanggihan teknologi yang luar biasa dan kemudahan akses segala informasi, pendidikan, dan kesehatan. Ya, saya pikir. Lalu tanpa disadari, saya mengabaikan segala sesuatu yang "berbau" kekunoan, termasuk cara mendidik orang tua saya yang saya anggap "tidak baik". Namun, tanpa didikan orang tua saya, saya tidak akan seperti sekarang ini. 


Terkadang, kita menganggap diri kita lebih pintar, lebih hebat, lebih ahli, dan lebih terdidik daripada orang-orang yang hidup di zaman sebelum kita (sebut saja dunia kuno). Bagaimana tidak? Pada saat itu, pendidikan sulit terjangkau oleh semua kalangan masyarakat yang membuat mereka tidak terdidik. Apalagi kemudahan akses informasi dan kesehatan. Karena alasan itulah, kita mengklaim bahwa diri kita lebih mendapat pengetahuan lebih daripada orang tua kita sendiri.


Padahal dari dunia kuno itulah, zaman modern hadir. Adanya keterbatasan dalam dunia kuno membuat manusia-manusia yang hidup di dunia itu berpikir bagaimana caranya agar permasalahan pendidikan dan kesehatan dapat terjangkau ke seluruh kalangan masyarakat. Manusia-manusia berusaha dalam keterbatasan yang melingkupi mereka. Namun, kita yang hidup di zaman modern dengan enteng mengatakan bahwa diri mereka lebih pintar dan hebat.


Lalu lebih parahnya, kita mengabaikan keunggulan dari dunia kuno. Misalnya saja, kita ambil satu kasus perbandingan. Saat ibu yang hidup di dunia kuno berjuang sekuat tenaga untuk dapat melahirkan anaknya dengan sehat dan selamat dalam keterbatasan teknologi medis, ibu yang hidup di dunia modern begitu mudah menyerah untuk melahirkan anaknya dengan operasi ceasar.  Pada akhirnya, ibu-ibu zaman modern ini bermental manja terhadap kemudahan-kemudahan yang ada pada dunia modern. 


Ini masalah kita (manusia-manusia yang hidup di dunia modern), tanpa disadari atau dengan menyadari, mengganggap remeh atau bahkan menghina dunia kuno sebelum membuka mata, telinga, dan hati mereka untuk meninjau ulang pemikiran kita. Padahal banyak hal yang bisa kita petik dari pengalaman-pengalaman berharga orang-orang yang hidup di dunia kuno.

Selasa, 05 Januari 2016

Katak dalam Panci

Mengutip tulisan dari teman dalam chatting-an grup kami dan Jostein Gaarden dalam bukunya “Dunia Anna”. Mungkin beberapa di antara kalian pernah dengar perumpamaan katak dalam panci. Jika pernah, anggaplah kalian mengingat kembali memori kalian.
Jika kita taruh katak ke dalam panci yang di dalamnya berisi air mendidih, katak tersebut loncat seketika.
Namun, jika katak ditaruh ke dalam panci yang berisi air dingin yang kemudian dipanaskan, si katak akan menyesuaikan suhu tubuhnya tanpa melakukan apapun walaupun ia mampu meloncat keluar dari panci tersebut.
Katak terus menyesuaikan suhu tubuhnya seiring meningkatnya suhu air dalam panci tersebut. Pada saat air mencapai titik didih, katak memutuskan melompat keluar dari panci. Akan tetapi, katak tidak mampu melakukannya karena ia telah kehilangan semua tenaganya dalam usaha menyesuaikan diri dengan suhu air yang naik.
Singkat cerita, katak pun mati.
Semua orang dapat berpikir bahwa katak tersebut akan mati karena air mendidih. Akan tetapi, kita lupa bahwa penyebab utama matinya katak adalah ketidaksanggupan si katak dalam mengambil keputusan saat katak masih mampu meloncat keluar dari panci yang suhu airnya mulai naik.
Kita semua dalam hidup ini perlu untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang dan situasi di sekitar kita ketika kita perlu melanjutkan hidup. Namun, jika membiarkan orang lain, rekan kerja, atau perusahan tempat kita kerja mengeksplorasi fisik, emosi, finansial, bahkan rohani/iman kita, itu KONYOL namanya. Terlebih, kita mampu keluar.
Belum dicoba, tetapi sudah berasumsi banyak hal. Bukan karena kita tak bisa untuk mengubah keadaan hidup kita, tetapi kita terlalu PENGECUT untuk menghadapi tantangan, termasuk TANTANGAN MENDAPAT PEKERJAAN BARU YANG LEBIH BAIK.
Jangan takut! Allah swt menciptakan manusia lebih unggul daripada makhluk hidup-makhluk hidup yang ada di semesta ini. Jangan pula berpikir takut tidak punya uang. Bukankah Allah swt telah menjanjikan bahwa Dialah yang memberi rezeki semua makhluk hidup yang ada di dunia ini, sekalipun makhluk hidup itu berada di bawah lapisan Bumi terdalam atau di atas langit tertinggi. Namun, kita (manusia) sering kali LUPA bahwa yang menjamin rezeki kita adalah Allah swt.

Bayangan Bapak



Tetiba, aku teringat. Malam saat aku berlari-lari keluar rumah usai menyelesaikan tugas sekolah. Ya tugas sekolah. Betapa aku selalu ingat. Kami bertiga, aku dan kakak-kakak laki-lakiku, duduk berjejer di ruang tamu mengerjakan PR kami masing-masing dengan diawasi oleh bapak. Ya, ruang tamu. Kami tidak memiliki meja belajar. Rumah kami kecil, hanya ada ruang tamu, ruang tengah yang multifungsi, dan ruang belakang yang berfungsi sebagai kamar mandi, dapur, dan satu kamar kecil. Ruang tamu selalu kami jadikan ruang belajar di malam hari.


Usai salat magrib dan mengaji, bapak selalu mengecek tas sekolah kami satu per satu. Mengecek tugas yang diberikan guru untuk dikerjakan di rumah (PR). Usai mengecek, lantas aku dan kakak-kakakku menuju ruang tamu. Tentu, tak mungkin tak ada PR.
Aku dan kakak-kakakku selalu berkompetisi, siapa yang menyelesaikan PR terlebih dahulu. Dan bapak mengecek pekerjaan kami satu per satu dengan teliti. Kalau ada kesalahan, kami harus menahan diri untuk bermain dan memperbaiki kesalahan kami saat itu juga. Jika pekerjaan kami telah benar semua, bapak mengizinkan kami bermain di luar.


Aku bergegas menyelesaikan PR-ku. Aku tak sabar ingin keluar rumah dan bermain dengan teman-teman. Dan aku berhasil menyelesaikan PR-ku dengan benar semua. Aku berlari riang keluar rumah, bergabung dengan teman-teman yang telah menunggu di luar. Kami bermain galaksin hingga aku berhenti sejenak karena mendengar suara kentongan. Itu dia. Itu yang aku tunggu-tunggu. Lantas aku berlari mencari sumber suara. Nah.. itu dia. Akhirnya datang juga. Tukang bakso yang aku tunggu-tunggu. Aku memesan semangkuk bakso dan menunggu dengan tidak sabar. Abang tukang baso meracik bumbu dan bahan-bahan pelengkap masakan bakso. Lalu, kuah bakso dituang ke dalamnya. Aroma kuah bakso menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku. Emm.. wangi. Kusodorkan uang yang telah kusiapkan di dalam kantong ke abang tukang bakso lalu kuambil mangkuk berisi bakso dan mie yang siap untuk disantap.


Dengan hati-hati, aku membawa semangkuk bakso ke rumah. Kuperhatikan langkahku. Aku membatin, "jangan sampai tumpah. Jangan sampai tumpah". Kuulangi perkataan itu untuk ditujukan pada diriku sendiri. Aku telah berdiri di depan rumah. Dengan hati-hati, aku membuka pintu. Itu dia. Bapak masih duduk di ruang tamu. Matanya terpenjam mendengarkan lagu "Kalau bulan bisa ngomong". Ya. Bapak sangat suka lagu itu dan lagu-lagu sejenisnya. Aku juga suka. Entah karena jenis musiknya, liriknya, atau hanya sekadar sering mendengarkannya hingga tanpa sadar aku menyukainya. Aku mendendangkan sebuah lagu.  Bukan lagu "Kalau bulan bisa ngomong" melainkan lagu "Selamat ulang tahun". Aku tinggikan suaraku untuk melawan suara dari kaset yang diputar bapak. sambil membawa semangkuk bakso, aku bernyanyi mendekati bapak.

Happy birthday to you
Happy birthday
Happy birthday
Happy birthday
Happy birthday to you

Bapak terkejut. Spontan dia menyecilkan volume musik yang sedang didengarkannya. Dia tersenyum. Tersenyum malu melihat aku yang mendekatinya dengan menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil membawa semangkuk bakso. Aku menyerahkan mangkuk bakso kepadanya. Masih sambil tersenyum dan tersipu malu, bapak menerimanya. Dia meletakkan mangkuk berisi bakso di meja. Dipeluknya aku dan membisikan kata "terima kasih" di telingaku lalu mengecup keningku. Aku pun tersenyum dan tertawa kecil mendengarnya. Lalu, kuucapkan kata "sama-sama" kepadanya. Aku pergi keluar, bermain lagi dengan teman-teman. Kutinggalkan bapak seorang diri di ruang tamu dengan mangkuk bakso yang diletakan di atas meja.


Setelah menimbang waktu yang telah berlalu, aku kembali ke rumah. Kulihat bapak di ruang tamu. Bapak telah melahap habis bakso yang kuberikan kepadanya. Aku harus mengembalikan mangkuk itu ke abang tukang bakso. Kasian abang tukang bakso menunggu lama. Aku ambil mangkuk kosong di depan bapak dan berlari keluar rumah. Berlari menuju abang tukang bakso yang telah lama menunggu. Kuucapkan terima kasih kepada abang tukang bakso dan kembali berlari menuju rumah untuk menemui bapakku. Dia masih di ruang tamu. Aku bertanya seraya mendekatinya dan duduk di sampinya, "enak gak baksonya, Pak?" Aku ingin tahu rasanya. Uangku tak cukup untuk membeli semangkuk lagi untukku. Dengan santai, bapak mulai berkomentar, "Biasa aja. Malah kebanyakan merica". Jujur, aku kecewa karena bakso yang aku beli tidak memenuhi standar selera bapak. Tetiba, bapak mengusap kepalaku dan berkata, "tapi tetap enak kokkarena utri yang beliinMakasih ya?". Seperti dapat membaca isi kepalaku, bapak menenangkanku dengan kata-kata manis. Aku menyengir mendengar kata-katanya dan menunjukkan deretan gigi susu yang renggang. Lalu, kuanggukan kepala sebagai balasan atas ucapannya.

Waktu telah lama bergulir sejak peristiwa itu terjadi. Aku memang tidak ingat tahun berapa peristiwa itu terjadi. Namun, 15 tahun lebih peristiwa itu berlalu. Aku tidak akan pernah lupa kenangan indah saat kau berada di tengah-tengah kami. Tiga hari lagi adalah tanggal kematianmu. 21 Oktober 2002. Tanggal yang sangat kuingat. Tanggal yang memisahkan bapak dengan aku, kakak-kakakku, dan ibu. Kini, tidak hanya tanggal kelahiranmu yang aku ingat tetapi juga tanggal kematianmu. Walau begitu, aku yakin bapak masih akan terus ada. Di dalam hati kami masing-masing, anak-anakmu dan juga istrimu.