BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu karya sastra tidak serta merta turun dari langit. Karya sastra diciptakan untuk dipahami, dihayati, dan dimanfaatkan bagi masyarakat.[1] Karya sastra merupakan rekaman dari kehidupan manusia. Dari karya sastra, kehidupan suatu masyarakat dapat terlihat dan diketahui baik itu masyarakat yang hidup jauh sebelum abad milenium ini. Selain itu, sastra adalah bahasa (kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari) (KBBI, 2005: 1002). Dengan demikian, bahasa merupakan medium yang digunakan dalam sastra untuk menyampaikan hasil pemikiran.
Daices mengacu pada Aristoteles mengatakan bahwa sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan satu jenis pengetahuan yang tidak dapat disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya[2]. Hasil dari sastra yang telah diciptakan disebut karya sastra. Karya sastra terdiri dari tiga genre, yakni drama, puisi, dan prosa. Karya sastra terbagi menjadi dua macam, yakni sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan berupa folklor yang diciptakan dan diwariskan secara turun menurun melalui lisan dan tidak dibukukan, sedangkan sastra tulisan baru muncul setelah manusia mengenal tulisan. Jadi, karya-karya yang dibuatnya dapat diabadikan melalui tulisan atau bahkan dibukukan. Karya sastra tulisan, biasanya, terdapat pengaruh kebudayaan asing, seperti kebudayaan Budha, Hindu, dan Islam.
Pada zaman dahulu yang belum ada percetakan, karya sastra tulisan hanya berupa naskah (manuskrip) yang ditulis tangan secara langsung oleh pemiliknya. Naskah yang ditulis oleh pengarang tersebut merupakan naskah asli. Naskah digolongkan dalam karya sastra lama. Naskah tersebut ada yang berupa hikayat, syair, adat-adat tradisional, surat-surat kerajaan, dan undang-undang. Naskah-naskah yang berada di Perpustakaan Nasional, Jakarta, umumnya berbahasa Melayu dengan aksara Arab. Akan tetapi, sebagian kecil naskah terdapat juga naskah yang berbahasa Jawa, Sunda, atau bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, naskah-naskah tersebut diteliti untuk mengetahui kehidupan masyarakat suatu zaman tertentu. Penelitian ini termasuk kajian filologi. Dalam praktisnya, penelitian ini membutuhkan disiplin ilmu lain.
Pada makalah ini, penulis akan meneliti sebuah naskah, yaitu Syair Sindiran. Naskah ini berbentuk syair. Penulis memilih naskah ini sebagai objek penelitian karena naskah tersebut merupakan naskah yang dianggap tunggal. Naskah Syair Sindiran di Perpustakan Nasional tidak hanya satu naskah saja. Namun, keadaan naskah Syair Sindiran berkode Ml. 88*, Ml. 89*, dan Ml. 88 dalam keadaan rusak dan hilang. Kemudian, naskah yang berkode W 234 berisi kisah yang berbeda dan tidak lengkap sehingga penulis menggunakan naskah Syair Sindiran berkode W 235 sebagai bahan data penelitian. Selain itu, penulis memilih naskah Syair Sindiran karena naskah tersebut terkandung amanat dan nilai yang terkandung dalam naskah, serta pengaruh naskah Syair Sindiran bagi pembaca yang membacanya.
Makalah ini diharapkan dapat menjadi suatu penelitian atau karya ilmiah yang diteliti lebih dalam. Makalah ini juga diharapkan dapat menjadi suatu pengantar ilmiah untuk memperdalam dan memahami filologi. Selain itu, makalah ini dibuat untuk mengembangkan pengetahuan mengenai karya sastra lama yang masih bermanfaat hingga saat ini.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini berdasarkan semakin sedikit penelitian terhadap naskah lama padahal naskah lama mengandung manfaat yang cukup besar. Kelangkaan penelitian terhadap naskah lama dapat diasumsikan karena berkurangnya keterampilan dalam membaca naskah klasik. Tulisan yang tidak digunakan lagi menyebabkan peneliti menjadi hambatan dalam penelitian. Selain permasalahan itu, naskah ini termasuk naskah jamak sehingga muncul perbedaan-perbedaan penulisan antara naskah yang satu dengan yang lain. Makalah ini akan membahas faktor apa saja yang membuat naskah-naskah tersebut berbeda dalam hal penulisannya walau kandungan teksnya sama. Dengan makalah ini, persebaran naskah-naskah tersebut dapat diketahui tersimpat di mana saja selain di Indonesia.
Permasalahan tersebut di antaranya:
· Bagaimana bentuk penyajian transliterasi teks Syair Sindiran agar mudah dipahami pembaca?
· Amanat dan nilai moral apa yang terkandung dalam naskah Syair Sindiran?
· Apa pengaruh naskah Syair Sindiran bagi pembaca yang membacanya?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, tujuan makalah ini ialah untuk menyajikan transliterasi teks Syair Sindiran agar mudah dipahami pembaca dan menjelaskan amanat dan nilai moral apa yang terkandung dalam naskah tersebut serta pengaruh naskah tersebut bagi pembaca.
1.4 Metode penelitian
Naskah ini merupakan salah satu bentuk kesusasteraan lama. Dalam meneliti naskah sastra lama yang tunggal, metode yang digunakan terbagi dua macam, yakni metode edisi diplomatis dan edisi kritis. Menurut Robson (1994: 4), edisi diplomatis adalah reproduksi fotografi dari naskah yang halaman demi halaman tidak membolehkan penambahan dan pengurangan apapun. Selain itu, metode ini menyajikan teks dari hasil edisi diplomasi persis seperti yang dapat dalam sumber naskah. Edisi diplomasi dapat digunakan untuk penelitian naskah tunggal atau penelitian naskah jamak yang dianggap tunggal. Edisi diplomasi hanya boleh melibatkan sedikit mungkin campur tangan editorial dan memaksimalkan ketepatan bukti tersebut. Metode diplomasi memiliki keuntungan dan kekurangan. Menurut Robson (1994: 25),
keuntungan edisi diplomasi adalah memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu serta memperlihatkan secara tepat cara penggunaan tanda baca di dalam teks. Hal ini akan membawa konsekuensi bagi interpretasi dan apresiasi terhadap cara naskah itu digunakan, misal dibacakan atau dinyanyikan. Kekuranganya adalah pembaca tidak dibantu padahal mungkin ia tidak kenal dengan gaya atau isinya sehingga ia harus berjuang sendiri dengan keanehan, kesulitan, atau perubahan apa saja yang mungkin terkandung dalam teks tersebut.
Selain metode edisi diplomasi, metode edisi kritis dapat digunakan untuk menjadi landasan metode penelitian naskah tunggal. Metode edisi kritis dibagi menjadi dua macam, yakni edisi kritis yang direkontruksi dan edisi kritis dari satu sumber.
Metode edisi kritis yang direkontruksi adalah usaha memperbaiki teks asli yang hilang berdasarkan sumber-sumber yang ada serta memilih bacaan-bacaan terbaik untuk diperbaiki kesalahan yang terdapat di dalam teks dan kebakuan ejaan. Edisi kritis yang dari satu sumber mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang murni mungkin berdasarkan satu naskah dan tidak mempunyai varian. Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam teks dikoreksi hanya terbatas pada kesalahan dalam penulisan dan tidak butuh pembakuan (De Haan dalam Robson, 1994: 22).
Dalam edisi kritis, keuntungan yang diperoleh adalah bantuan yang berguna bagi pembaca naskah. Berbeda dengan metode edisi diplomasi, pembaca dibantu mengatasi pelbagai kesulitan yang bersifat tektual atau yang berkenaan dengan interprestasi dan terbebas dari kesulitan mengerti isinya (Robson, 1994: 25). Dengan metode ini, penyunting mengindentifikasi dan mengatasi sendiri kesalahan yang terdapat dalam teks. Cara tersebut dapat memberi tanda yang mengacu pada “apparatus kritis” untuk menyarankan bacaan yang baik. Selain itu, pemasukan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas dan mengacu pada “aparatus kritis”.[3] Dalam metode ini, penyunting harus menyatakan dan mempertanggungjawabkan segala jenis perubahan yang dibuat. Jika tidak, ia memalsukan sumber-sumber yang digunakannya[4].
Dalam makalah ini, penulis menggunakan metode edisi kritis dari satu sumber. Edisi kritis yang dari satu sumber mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang murni mungkin berdasarkan satu naskah dan tidak mempunyai varian. Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam teks dikoreksi hanya terbatas pada kesalahan dalam penulisan dan tidak butuh pembakuan (De Haan dalam Robson, 1994: 22). Hal ini berdasarkan kutipan berikut ini yang diambil dari trasnliterasi pada halaman 2 naskah Syair Sindiran:
Airlah mata jatuh bercucur 10
Tidaklah sadar badanku hancur/
Sakitnya badan bagai dipancur
Sendi dan tukang[5] bagaikan hancur/
Dari kutipan dan penjelasan di atas, makalah ini jelas mengunakan metode edisi kritis dalam metode penelitian.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan pembahasan mengenai naskah Syair Sindiran. Bagian kedua ini akan dijelaskan mengenai inventarisasi naskah Syair Sindiran yang mencakup jumlah naskah, kode, dan tempat penyimpanannya. Selain itu, bagian ini akan dijelaskan pula deskripsi fisik semua naskah Syair Sindiran. Setelah menjelaskan inventarisasi dan deskripsi, metode penelitian apa yang digunakan untuk meneliti naskah tunggal.
Bab ketiga menyajikan edisi teks. Bagian ini terdapat ringkasan isi teks Syair Sindiran yang berkode W 235, pertanggungjawaban transliterasi, transliterasi teks, serta daftar kata-kata yang sukar dipahami. Bab keempat akan dijelaskan mengenai kategori naskah dan para ahli yang telah membahas naskah Syair Sindiran. Selain itu, bab ini akan dijelaskan amanat apa yang terkadung di dalam naskah tersebut dan pengaruhnya bagi masyaratkat saat naskah itu dituliskan. Bab terakhir adalah bab kelima yang berisi mengenai kesimpulan dari seluruh uraian yang dijelaskan dalam naskah ini.
BAB 2
SYAIR SINDIRAN
2.1 Inventarisasi Naskah
Syair Sindiran hanya terdapat di Jakarta, yaitu di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah Syair Sindiran memiliki kode naskah lebih dari satu, yakni Ml. 88*, Ml. 89, W 234, dan W. 235. Namun, keadan naskah berkode Ml. 88* dan Ml. 89 dalam keadaan rusak dan hilang, sedangkan naskah berkode W 234 merupakan naskah dengan cerita yang berbeda dengan naskah yang berkode W 235 dan kisah ceritanya tidak lengkap (hanya enam halaman). Oleh karena itu, penulis mengunakan naskah Syair Sindiran dengan kode W. 235 sebagai sumber naskah tunggal. Naskah-naskah Syair Sindiran berkode Ml. 88* dan Ml. 89 terdapat di katalog Van Ronkel dan katalog Induk Naskah-naskah Nusantara jilid 4 (Bat. Gen. 88 dan Bat. Gen. 89), sedangkan naskah berkode W. 234 dan W. 235 terdapat dalam katalog Naskah Melayu [Ml. 88 (dari W.235) dan Ml. 89 (dari W. 234)].
2.2 Deskripsi Naskah
Syair Sindiran yang berkode W. 235 terdapat di PNRI. Naskah ini berbahasa Melayu dengan aksara Arab. Naskah ini lengkap karena tidak ada bagian yang hilang dalam cerita. Ukuran naskah ini adalah 20 x 32 cm. Jenis sampul naskah ini adalah karton marmer berwarna cokelat dan bercorak kotak-kotak kecil yang tidak beraturan dan berwarna keunguan. Sampul naskah tergolong baik karena sampul naskah tidak berlubang ataupun patah-patah.
Jumlah pelindung naskah ini adalah empat halaman, yakni dua halaman di awal dan dua halaman di akhir. Ukuran lembar pelindung adalah 20 x 32 cm. Jumlah halaman yang ditulisi adalah lima belas halaman. Jumlah baris tiap halaman yang ditulisi terjadi ketidakkonsistenan penyalin karena ada beberapa halaman yang jumlah barisnya berbeda. Pada halaman pertama, jumlah baris yang ditulisi adalah 17 baris sedangkan dari halaman kedua sampai halaman ketujuh terdiri dari 18 baris. Halaman pertama berjumlah 17 baris karena satu baris bertuliskan bismillahirahmanirahim.
Lalu, halaman kedelapan sampai dengan halaman ketiga belas terdiri dari 17 baris. Lain halnya dengan halaman empat belas yaitu halaman terakhir yang hanya terdiri dari 8 baris. Cara penomoran ditulis dengan angka Arab dan menggunakan pensil, mungkin dilakukan oleh petugas perpustakaan. Penulisan nomor pada halaman pertama terletak pada pojok kanan atas kertas. Penomoran pada halaman kedua terletak di bagian tengah atas kertas, sedangkan dari halaman tiga sampai dengan halaman empat belas penomoran diletakkan pada pinggir kiri atas kertas.
Untuk mengetahui jenis kertas pada naskah ini, penulis menanyakan hal ini kepada petugas perputakaan. Kondisi naskah yang telah mendapatkan perbaikan membuat jenis kertas naskah sulit diketahui. Kertas tersebut sudah lapuk sehingga mudah patah.
Tiap halaman ditulis menjadi dua kolom. Kolom tersebut berbentuk seperti bingkai. Oleh karena itu, kolom tersebut disebut bingkai naskah. Cara penggarisannya lurus dan rapi dengan dua kali penggarisan. Pola penggarisan kolom adalah vertikal dan tipis. Pias naskah berukuran 4,1 cm pada pias atas, pias bawah berukuran 3,8 cm, pias kiri berukuran 2,4, dan pias kanan berukuran 2,2 cm.
Jenis huruf naskah ini adalah aksara Arab dengan berbahasa Melayu. Tulisan yang pada naskah ini cukup jelas terbaca walau naskah ini diberi laminasi. Tulisan naskah ini ditulis dengan tinta berwarna coklat tua.
Pada naskah ini, catchword terletakkan di pojok kiri bawah kertas dan berada ditiap halaman ganjil kecuali halaman tujuh. Kemungkinan penyalin lupa mencantumkan catchword pada halaman tersebut. Dalam naskah ini tidak ditemukan watermark, koreksi, pungtuasi, rubrikasi, dan kolofon.
Teknik penjilidan naskah ini dijahit dan dilem dengan cara penjahitan dibagi 4 bagian jahitan kemudian dilem pada sampulnya. Naskah ini dijahit dengan menggunakan benang wol berwarna putih. Benang tersebut merupakan salah satu bukti bahwa naskah ini telah mendapat perbaikan dari petugas Perpustakaan Nasional. Bentuk perbaikan lainnya adalah laminasi pada kertas naskah tersebut. Walau naskah tersebut dilaminasi, teks masih dapat dibaca dengan jelas.
Naskah ini terdiri dari dua kuras. Setiap kurasnya terdiri dari tujuh halaman. pengjahitan dilakukan setiap tujuh halaman tersebut. Penanggalan dan tempat penjilidan tidak ditemukan dalam naskah ini. Hal terlihat dari bagian awal dan akhir teks yang tidak menerangkan informasi tersebut. Berikut ini adalah kutipan isi naskah pada bagian awal dan bagian akhir.
· Awal teks
Bismillahirrahmanirrahim/
Bismillah itu mula dikata
Dengan nama Allah tuhan semata/
Berkata Muhammad penghulu kita
Disampaikan Allah barang dicinta/
Dengarkan tuan suatu peri
Dikalang mengarang nisfunya diri/
Duduk terpaku rasa hari
Kemana karangan hendak berlari/
· Akhir teks
Tatkala kakanda nak sembahyang
Kupandang tuan berbayang-bayang/
Rasanya hati terbang melayang
Di manalah sa(ha)ya tidak kan sayang/
Di manalah hati tidakkan gila
Memandang saudara seperti kemala/
Jikalau ada terlebih ula
Masa kan sa(ha)ya bernama cela/
BAB 3
SUNTINGAN TEKS SYAIR SINDIRAN
3.1 Ringkasan Isi Teks
Naskah Syair Sindiran merupakan salah satu syair berbahasa Melayu yang menceritakan kehidupan seorang manusia. Naskah ini diawali dengan kata Bismillahirrahmannirrahim ‘dengan menyebut nama Allah, Tuhan semata dan Muhammad sebagai penghulu kita’. Syair Sindiran ini bercerita tentang penderitaan batin yang dialami oleh seseorang yang hidup sendiri, tanpa orangtua, sanak saudara, dan juga teman. Dalam syair ini dikatakan bahwa orang tersebut mengaku dirinya tidak berguna dan merasa hina karena sudah tidak memiliki harta dan uang. Kegiatan yang dilakukannya hanya duduk termangu merenungi nasib hidupnya sambil mencucurkan air mata.
Pada halaman pertama, syair ini tergambarkan bahwa orang tersebut memiliki kesedihan yang mendalam yang membuat badannya sakit dan kurus serta hatinya yang remuk redam. Halaman kedua dijelaskan bahwa badan orang itu terasa sakit sebab dia merasa sendi dan tulangnya telah hancur. Oleh karena badannya yang terlalu sakit itu, dia merasa nyawanya telah hilang. Kesedihan yang dimiliki orang tersebut merupakan rasa sakit hatinya terhadap sahabat yang telah meninggalkannya[6] dan sanak saudara yang telah membencinya[7]. Selain meratapi nasibnya, orang tersebut juga menyadari bahwa manusia di dunia ini tentunya memiliki dosa.Di akhirat nanti, manusia akan merasakan balasan dari dosa itu.
Syair ini juga terdapat kisah masa lalu Sang tokoh utama. Dahulu, dia dicari sahabat karena masih mempunyai harta. Dia pun mengakui bahwa saat itu dia sangat dhaif.[8] Namun, setelah tidak memiliki harta, dia ditinggalkan oleh sahabatnya itu. Dalam naskah Syair Sindiran ini, ungkapan mengenai kebesaran Allah terdapat di dalamnya, seperti Allah adalah tuhan yang gana yang menciptakan alam amat sempurna.[9]
3.2 Pertanggungjawaban Transliterasi
Untuk memudahkan pembacaan naskah, transliterasi harus dilakukan dengan prinsip-prinsip transliterasi. Prinsip-prinsip ini akan menghasilkan suntingan yang baik dan benar. Prinsip-prinsip transliterasi tersebut antara lain: Naskah ini berbentuk syair sehingga perlu dibagi menjadi bait-bait. Tiap bait terdiri dari dua baris tulisan dalam syair tersebut:
a) Kata yang berasal dari bahasa Arab atau Alquran ditransliterasikan sesuai dengan EYD dan ditulis dengan cetak miring
b) Tanda kurung (...) digunakan untuk menambahkan huruf atau angka. Contohnya: Dengan demikian apa kesudahan(nya)
Duduk bercinta dengan dendamnya/
c) Tanda kurung siku [...] digunakan untuk mengurangi huruf atau angka. Contohnya: Zaman itu dhoif sa[ha]ya
Daripadanya tidak harta dunia
d) Tanda satu garis miring atau / digunakan untuk pergantian baris dalam naskah. Contohnya: Dengarkan tuan suatu peri
Dikalang mengarang nisfunya diri/
e) Tanda dua garis miring atau // digunakan untuk pergantian halaman dalam naskah. Contohnya: Bismillah itu mula dikata
Dengan nama Allah tuhan semata/
Berkata Muhammad penghulu kita
Disampaikan Allah barang dicinta//
f) Penomoran halaman diletakkan di sebelah kiri sedangkan penomoran bait diletakkan di sebelah kanan, contoh
1 Bismillahirrahmanirahiim/
Bismillah itu mula dikata 1
Dengan nama Allah tuhan semata/
Berkata Muhammad penghulu kita
Disampaikan Allah barang dicinta/
g) Kata ulang yang ditulis dengan angka dua akan ditransliterasikan sesuai dengan EYD. Contohnya: tersedu2 menjadi tersedu-sedu, teraba2 menjadi teraba-raba.
h) Huruf /k/ mewakili huruf ( ق ), ( ك), dan (ﻋ).
Contohnya: دکڶڠ menjadi dikalang
دودق menjadi duduk
فينأ menjadi pinak
i) Kosakata yang diperkirakan menyulitkan pemahaman akan dijelaskan artinya dalam daftar kata sukar dan akan ditulis berdasarkan abjad. Kata-kata sukar akan ditulis dengan huruf tebal dalam transliterasi. Adapun beberapa kamus yang digunakan untuk mencari pengertian kata-kata tersebut, antara lain sebagai berikut:
· Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005) yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
· Kamus Bahasa Melayu Nusantara (KBMN, 2003) yang disusun oleh Datuk Paduka Haji Mahmud.
· Kamus Dewan (KD, 1970) yang disusun oleh Teuku Iskandar.
k) Untuk memperbaiki kesalahan yang ada dalam teks baik kata maupun kalimat digunakan catatan kaki.
· Penulisan konsonan
Huruf Arab
|
Huruf Latin
|
Huruf Arab
|
Huruf Latin
|
ٲ
|
a
|
ظ
|
Zh
|
ب
|
ba
|
ع
|
’
|
ت
|
ta
|
غ
|
Gh
|
ث
|
tsa
|
ڠ
|
Ng
|
ج
|
j
|
ف
|
F
|
ح
|
h
|
ف
|
p
|
خ
|
kha
|
ق
|
q
|
چ
|
ca
|
ك
|
k
|
د
|
d
|
ک
|
ga
|
ذ
|
dz
|
ل
|
l
|
ر
|
ra
|
م
|
m
|
ز
|
z
|
ن
|
n
|
س
|
s
|
و
|
w
|
ش
|
sy
|
ي
|
h
|
ص
|
sh
|
ي
|
y
|
ض
|
dh
|
پ / ڽ
|
ny
|
ط
|
th
|
ﻋ
|
k
|
· Penulisan vokal
a: ٲ
i: ي / ى
u: و
e: ي أ
o: و ٲ
3.3 Transliterasi Teks
1 Bismillahirrahmanirahiim/
Bismillah itu mula dikata 1
Dengan nama Allah tuhan semata/
Berkata Muhammad penghulu kita
Disampaikan Allah barang dicinta/
Dengarkan tuan suatu peri 2
Dikalang mengarang nisfunya diri/
Duduk terpaku sehari
Kemana karangan hendak berlari/
Dengarkan tuan dagang mengarang 3
Pikir piatu duduk seorang/
Tidak berguna kepada orang
Laksana perahu di atas karang/
Laksana kaca jatuh ke batu 4
Remuklah radam pecah di situ/
Jikalaunya datang cela suatu[10]
Tidak siap akan membantu/
Siang dan malam duduk bercinta 5
Birahikan angsuan emasnya ju[a]ta/
Sampailah piatu di ken[g]yang lata
Makin berkah airnya mata/
Tatkala bertiup angin utara 6
Datanglah pilu tidak terkira/
Laksana duduk di tengah seg(e)ra
Terkenangkan zaman dengan saudara/
Jikalau masih dikenang-kenang 7
Hatiku kusut seperti benang/
Airlah mata jatuh berlinang
Tidaklah sesangat berhati linang/
Tidak sesepatah berhati suka 8
Se[ha]ngkanya duduk dengan duka/
Apalah kurang mula petaka
Sika demikian kedatangan celaka/
Dagang anak miskin terbuang 9
Tidak menoleh harta dan uang //
2 Alang(kah) sakit badan seorang
Airlah mata bagai dituang/
Airlah mata jatuh bercucur 10
Tidaklah sadar badanku hancur/
Sakitnya badan bagai dipancur
Sendi dan tukang[11] bagaikan hancur/
Sendi dan tulang bagai dipalu 11
Sakitnya ke atas hulu/
Ke mana karangan lagi kena malu
Mengirakan tempat hati yang pilu/
Astagfirullah heran hatiku 12
Melihat[kan] hal demikian laku/
Apalah karangan untung nasibku
Maka demikian jadi badanku/
Apakah mula badanku ini 13
Menjadi dagang dengan begini/
Darikan hendak berilah fani
Tidaklah cukup duduk di sini/
Hidup laksana kera dan lutung 14
Kayupun tidak tempat bergantung/
Ke sana kemari mengadu untung
Di manakah tempat dagang bergantung/
Sakitnya badan bukan kepalang 15
Laksana [h]ayam disembur halang/
Rasanya nyawa bagaikan hilang
Sakitnya sampai ke dalam tulang/
Sakitnya dagang sangat mudharat 16
Tidak jau(h) kira di dalam surat/
Rasa hatiku sangatlah girat[12]
Siapakah taman dunia akhirat/
Siapakah taman tempat berkata 17
Pikirkan diri dagang yang lata
Tidak terhambur airnya mata/
Siapakah lagi dibuat kawan 18
Sahabat yang rapat menjadi lawan//
3 Mekin[14] dipun(g)kir bertambah rawan
Sahabat sudah nasib untung kutuan/
Daripada tidak emasnya dipegang 19
Sahabat yang rapat menjadi renggang/
Sampailah nisfu rupanya dagang
Hatiku hangus bagai dike[ng]kang/
Dagang miskin anak yang hina 20
Duduk terpakur ke sini sana/
Laksana orang mendapat bencana
Atalah kesudahan tuhan yang gana/
Sakitnya badan tidak terkira 21
Siang dan malam menang[a]kan[g] lara/
Nasib piatu dagang ju[h]ara
Laksana masuk di dalam penjara /
Rusaknya hati bukan sedikit 22
Engkaunya sekalian tidak terbangkit/
Dendam men[t]awan jadi penyakit
Laksana ditempa gunung dan bukit/
Siang dan malam duduk berendam 23
Sifatlah api tidaklah padam/
Dihibarkan dengan sangir kurendam
Mekin bertambah risahkan radam/
Mekin bertambah usahakan kurang 24
Duduk bercinta seorang-seorang/
Toleh kiri ke kanan orang
Apakah mula dagang nan karang/
Sakitnya badan bagaikan terbang 25
Laksana di kuda dewa dan mamang/
Seperti perahu kena gelombang
Tidaklah ada orang menambang/
Tidaklah ada orang yang kasihan 26
Akannya dagang anak curahan/
Sudah lama dengan pembari tuhan
Derma diterima juga dengan kelimpahan/
Ditajamkan juga dengan sepenuhan 27
Pembela Allah kepada hambanya//
4 Tidaklah baik lagi katanya
Harapkan rahmat dari petuhannya/
Harapkan rahmat sehari-hari 28
Sambil menelangsa pikirkan dirinya/
Hendak mencari di sana kiri
Jikalaukan boleh pergi mari /
Jikala boleh mengabarkan kanda 29
Daripada duduk tidak berfaedah/
Siang dan malam tidak tengadah
Allah [waya][15] apa karangan sudah/
Allah [wa ya] apa kesudahan aku 30
Duduk bercinta demikian laku/
Ramuklah radam rasa hatiku
Hancurlah luluh sendi tulangku/
Hancurnya hatiku sangatlah mungkin 31
Nasi disuap tidak tertelan/
Duduk (ber)cinta hai tolan
Laksana awan mengadang bulan/
Bukannya seperti orang yang kaya 32
Ada sekalian hamba dan sahaya/
Dagang miskin rupanya sa[ha]ya
Sampailah anak di rimba raya/
Sampailah nasib dagang yang hina 33
Duduk bercinta gundah gulana/
Peminta badan menjadi kelana
Muzaratlah dagang kemana-mana [mana]/
Muzaratlah badan segenap dosa 34
Duduklah dunia sangat siksa/
Di dunia baik berbuat dosa
Di dalam akhirat pula merasa/
Sudahlah dunia tidak berguna 35
Di dalam akhirat bertambah hina/
Makin dipikir makinlah hina
Rasanya badan bagaikan fana/
Bertambah rusak rasanya hati 36
Laksana duduk di dalam peti //
5 Nasib piatu anak selati
Dirikan hidup berilah mati/
Tidaklah sukanya lagi 37
Laksana terjatuh di gunung te(r)[h]tinggi/
Ke mana karangan hendak pergi
Kepadalah tempat boleh [di] pergi/
Memandang orang rasanya malu 38
Duduk termenung mendudukan hulu/
Makin bertambah hatiku pilu
Bagai di[h]irisnya dengan sembalu/
Bagai [h]irisan rasanya memalu 39
Mendengarkan bunyi boleh perandu/
Riang-riang berbunyi suaranya merdu
Mekin bertambah hatiku rindu/
Duduk menangis tersedu-sedu 40
Pikirkan diri bagai bermadu/
Meniup suling boleh merindu
Serta terlalai lalu beradu/
Serta berada lalu ingat 41
Rasanya badan bagai disengat/
Apakah di ra[ha]ga badanku ini
Maka demikian Allah turuti/
Mintalah doa kepada tuhan ghani 42
Supaya dosa ada ampuni/
Usahakan [da] ampun mekin bertambah
Rasanya dada bagai ditebah/
Apakah mula celaka bedebah 43
Makanya badan tidak bertuah/
Makanya badan jadi begitu
Perintah Allah tuhan yang tentu/
Sudahlah nasib anak piatu 44
Peminta badan menjadi kelatu/
Menjadi kelatu dagang nan kira
Makanya duduk terlari-lari/
Tidak menaruh sanak saudara 45
Diperintahkan Allah apa cara //[16]
6 Rasanya hati terlalu heran 46
Memandang Allah punya kisaran/
Mekin[17] dipikir bertambah heran
Zamzam diraja berhamburan/
Zamzam diraja berhamburan pula 47
Siang dan malam menanggung bala/
Sudahlah perintah[an] ta[a]li
Dengan demikian kedatangan cela/
Dengan demikian apa kesudahan(nya) 48
Duduk bercinta dengan dendamnya/
Sudahlah untung dengan janjinya
Kepada Allah sudah suratannya/
Menekan duduk dengan pikir 49
Hamparlah badan jadi kelikir/
Di manakah boleh dagang yang mun(g)kir
Dialah menjemput sudah terawakir[18]/
Dia menjemput janjinya itu 50
Sekaliannya kita memang ke situ/
Serta dipikir hatiku bonyok
Allahlah tolong anaklah pinak/
Anak piatu dagang kelana 51
Duduk bercinta ke sina sana/
Mengaburkan hati hendak ke mana
Mudharatlah badan ke mana-mana/
Mudharatlah badan dengan bercinta 52
Allah [wa ya][19]apa kesudahan kita/
Duduk berendam dengan air mata
Kepada siapa tempat berkata/
Siapakah lagi hendak ku pandang 53
Dengan siapa tempat bertandang/
Hancurnya hati bagai direndang
Laksana berdiri di tengah padang/
Hancur hatiku tidak terkira 54
Siang dan malam menanggung lara/
Sudahlah untung nasibnya putra
Bencinya sekalian anak saudara//
7 Sanak saudara benci belaka 55
Tambahan orang semuanya suka/
Ke mana karangan membawa[h] muka
Duduk termenung berhati duka/
Barisaulah Allah bani Muhammad 56
Agihan apa akannya umat/
Rasanya hati hancur dan lumat
Laksana jelarum sudah tersemat/
Laksana jarum jatuh terhambur 57
Jantung dan limpa bagaikan lebur/
Di manakah karangan hendak menyabur
Supaya hati berawallah hibur/
Supaya hati boleh lalai 58
Dirapatkan duduk berjalan balai/
Ya Allah hamba mulai
Apalah sudahannya badan ternilai/
Dari dahulu sampai sekarang 59
Hati yang gundah tidaklah kurang/
Apakah mula badan nan kurang
Duduk piatu di negri orang/
Duduk piatu sehari-hari 60
Ke mana karangan menyerahkan diri/
Tolonglah Allah tuhan jau(h) hari
Dagang piatu anak santri/
Dagang piatu semuanya benci 61
Ke sana kemari orang mengaji/
Memanglah dagang tak pat[t]u(t) disati(h)
Ibu mengandung lagikan benci/
Selagilah masa ibu mengandung 62
Demilah segenap lorong dan bendung/
Malunya dagang tidak terlindung
Sampai ke dunia diri dikandung/
Diri dikandung orangnya suka 63
Sampai kepada ini ketika/
Apakah karangan mula petaka
Ibu dan bapak apakah di ra[ha]ga//
8 Cintanya tuan tampak menimpa[k]hi 64
Bercintakan nan belumlah lupa[u]i/
Itulah pula ditebang menerpa
Apakah di ra[ha]ga ibu dan bapak/
Apakah diri[h]nya anak se(m)barang 65
Maka tidak dimalukan orang/
Duduk terpukur seorang orang
Laksana burung kehilangan sarang/
Laksana burung terkena tuba 66
Ke sana kemari teraba-raba/
Sampailah anak di dalam rimba
Allah [wa ya][20] tolonglah apalah hamba/
Allah [wa ya][21] ditolong hamba mau tawan 67
Tidaklah cakap menaruh lawan/
Siang dan malam iku(t)-iku(t)an
Laksana orang mabuk cendawan/
Laksana orang tak berdaya 68
Sudahlah perintah tuan yang Malaya/
Terjinjing termangu segenap raya
Sudahlah nasib untungnya saya/
Sudahlah nasib untung terhempas 69
Di dalam dunia menjadi hempas/
Se(m)pat dikurung tidakkan lepas
Laksana cermin jatuh hempas/
Laksana cermin jatuh di jalan 70
Duduk bercinta ayo hai tolan/
Sakitnya badan bagai ditelan
Zam-zam terhambur sepanjang jalan/
Zam-zam terhambur tidak ber[h]angka 71
Ditambahlah pula lepas dan dahaga/
Laksana buana diarak mega
Sakitnya bagai ditawan naga/
Sakitnya bagai duduk di duri 72
Tidak menaruh untung biduri//
9 Lagi dahulu sahabat mencari
Kiri dan kanan datang menengkuri/
Zaman itu dhoif sa[ha]ya 73
Daripadanya tidak (ada) harta dunia/
Jikalau pada orang yang kaya
Bertambah dhoif romannya dia/
Lain sekalian mana sekarang 74
Duit dan emas dimalukan orang/
Bangsa yang baik sudahlah kurang
Karna tidak menaruh barang/
Karna tidak menaruh harta 75
Menjadinya suka orangkan kita/
Mekin dipikir menambahi cinta
Tidak bercucuran air mata/
[ha]tidak menangis hatiku duka 76
Ke sana kemari tak disangka/
Orang melihat masamkan muka
Apalah kurang mula petaka/
Apa karangan mulanya anglah[22] 77
Tidak menangis sambil mengalah/
Hati di dalam hancur luluh
Ramuk radam menjadi suluh/
Ya Muhammad rasul Allah 78
Heran sekali astagfirullah/
Jikalau bukan perbuat Allah
Badan yang satu hamparkan belah/
Rasanya badan bagaikan pelana 79
Duduk terpakur gundah gulana/
Laksana bagai lunglah buana
Membawa[h] diri hendak ke mana/
Hendak ke mana karangan pukulan 80
Duduk seperti hamba dan tolan/
Pilunya hanya bagai di[h]alun
Laksana ditapuk ombak mengalun//
10 Laksana ditepuk marak mengikal 81
Rasanya dada sangatnya mengakal/
Hilanglah budi bicara akal
Laksana perahu tidak berpa(ng)kal/
Laksana perahu kalam tenggelam 82
Siapakah cakap lagi menyelam/
Hancurlah luruh hati di dalam
Air mata (ber)cucur kati kalam/
Iramanya jujur kenangku 83
Melihatkan badan demikianlah laku/
Jikalau sampai karangan janjiku
Siapakah meng(h)adap kematianku/
Jikalau ada sanak saudara 84
Barulah la[h]ju ke tempat bicara/
Sekalian benci tidak terkira
Menjadilah hilang budi bicara/
Allah tuhan yang ghani 85
Heran segala hamba muwain/
Hamba tak tahu akan yakini
Akan demikian kedatangan fani/
Akan demikian kedatangan duka 86
Hamba tak tahu olehnya juga/
Jikalau dikenangkan belaka
Bertambah gundah hatinya yang duka/
Bertambah gundah hatiku girat 87
Disamarkan dengan membaca surat/
Setanggir (ke)lana menjadi a(k)hirat
Usahakan orang menambah galaurat[23]/
Ayo hai[a] dagang anak piatu 88
Perintah Allah bukannya itu/
Pikirkan sa[ha]ja diri [ke]satu
Siapalah pula datang membantu/
Saya pilu pula datang meng(h)eran 89
Orang benci di sini sana//
11 Hendak berjalan ke mana
Takutlah badan (men)dapat bencana/
Takutlah badan mendapat malu 90
Airlah mata cucur bertalu/
Sampai sekarang (sen)diri dahulu
Hati yang gundah bertambah pilu/
Hati yang gundah menambah [ha] siksa 91
Tak menaruh hati sentosa/
Duduk bercinta senantiasa
Laksana cermin hilanglah rasa/
Orang yang kaya melayan(i) karangan 92
Dipuja orang ber(ke)panjangan/
Jikalau tidak (ada) orang (ber)datangan
Kitapun tak masuk bilangan/
Kitapun tidak boleh memakan 93
Karna hina tak dapat diparikan/
Tidak menangis sambil bertolakkan
Sakitnya bagai ditelan[24] ikan/
Sakitnya bagai kena siksa 94
Sehari-hari tidak sentosa/
Dimanakan dapat lela(h) taksa
Berhentilah juga senantiasa/
Bercinta juga sehari-hari 95
Marah gundah tidak terperi/
Laksana batu dengan biduri
Sa[ha]yanya boleh memakan diri/
Sa[ha]ya boleh memakan silan 96
Laksana pungguk berahikan bulan/
Nasi[k] disuap tidak tertelan
Duduk bercinta segenap bulan/
Ya Allah tuhan yang ghana 97
Menjadikan alam amat sempurna/
Ada yang kaya ada yang hina
Sa[ha]ya seorang tidak berguna//
12 Sa[ha]ya hina ayo hai enak 98
Laksana ikan tidak bersibak/
Diam diri me(ng)[k]epung kacak
Orang melihat semuanya cicit/
Orang melihat semuanya menjelang 99
Laksana kudu para mayat ke lelang/
Dagang tidak di ra[ha]ga dan malang
Mengapakah orang semuanya berpaling/
Mengapakah orang semuanya tak suka 100
Memandang sa[ha]ya orang celaka/
Di dalam pikir(an) dengan penyangga
Tiadakan demikian kedatangan duka/
Segenaplah lorong sa[ha]ya bercinta 101
Birahikan adinda emas jiwa[ta]/
Ayuhai adinda asri mahkota
Kakanda anakala dengan air mata/
Selama kakanda tuan tinggalkan 102
Nasi[k] kusuap tidak termakan/
Laksana hilang berahikan ikan
Siang dan malam adinda ku tangiskan/
Ayuhai adinda mau abang sawan 103
Birahinya kakanda (a)kan mau tawan/
Sayangnya kakanda orang perempuan
Segala nafsu tidak berlawan/
Rasanya kakanda sangat kecewa 104
Ditinggalkan saudara berdua [dua]/
Tidaklah lagi suka tertawa
Rindukan tuan kakanda jua/
Selama saudara sudah tiada 105
Tidaklah tentu duduk kakanda/
Rupanya menopang ta(h)u adinda
Maka demikian lakunya ada/
Selama saudara sudahlah fani 106
Sa[ha]ya pun sudah senja di keranai//
13 Ta(h)u adinda rupanya yang ghani
Datang[kala] kan tuan kakanda punya ini/
Menopang ta(h)u adinda punya tiada boleh 107
Air mata sa[ha]ya meleleh/
Sudah perintah tua[ha]n yang soleh
Tidaklah lagi pikir dia aleh[25]/
Ayuhai adinda intan dan pirus 108
Tidak dipandang badanpun kurus/
Birahinya kakanda bagai diturus
Terkenangkan adinda putah[26] yang halus/
Tatkala adinda d(i)an(ta)r masa 109
Kakanda pun tentu duduk di desa/
Adalah seperti orang berbangsa
Sekarang sangatlah siksa/
Beban siksa jadi be[g]api 110
Karma saudara sudahlah fani/
Jikalaulah ada sampai gha[i]n(i)
Tidakkan sa(ha)ya duduk santai
Itupun tidak dagang menyala 111
Sudah dengan takdir taala/
Hendak dayaku (a)kan serba salah
Rasanya dada bagai[kan] (ter)belah/
Rasanya hati hancur dan ramuk[27] 112
Menjadilah kurus badan yang ramuk/
Mikin dipikir bertambah ramuk
Airlah mata cucur beramuk/
Airlah mata cucur terletak 113
Duka nan tuan datang menampak/
Seperti tali putus tersentak
Laksana timah tidak betastak/
Ayuhai adinda sudah untungmu 114
Menjadi dagang tiada berilmu/
Ke sana kemari duduk termangu
Laksana orang terkena semu//
14 Ayuhai adinda lela puspa 115
Sekejap mata kakanda tak lupa/
Ke sana kemari kakanda terupa-rupa
Kukatakan tuan datang menyapa/
Aduh adinda mengarankan rupa 116
Tuan laksana emas ditempa/
Kupandang tawan terupa-rupa
Di manakah hati meroleh lupa/
Tatkala kakanda nak sembahyang 117
Kupandang tuan berbayang-bayang/
Rasanya hati terbang melayang
Di manalah sa[ha]ya tidak kan sayang/
Di manalah hati tidakkan gila 118
Memandang saudara seperti kemala/
Jikalau ada terlebih ula
Masa kan sa[ha]ya bernama cela/
1. 4 Daftar kata yang Diperkirakan Menimbulkan Kesulitan Pemahaman
A. Agihan : kebahagiaan.
Angsuan : menambah ilmu.
B. Bani : anak.
Bedebah : celaka (makian).
Berfaedah : berguna, bermanfaat, memberi keuntungan.
Berahikan : perasaan cinta kasih di antara dua orang berlainan jenis.
Betastak : retak.
Biduri : batu permata yang berwarna dan banyak macamnya.
Buana : dunia; jagat; benua.
D. Dagang : orang dari negeri asing.
Derma : pemberian atas dasar kemurahan hati; bantuan uang dsb.
Dhoif : cacat, hina, laif, lemah
Dihibarkan : diluaskan.
Dikekang : dihentikan.
Disatih : didenda
Ditebah : dipukul.
F. Fana : dapat rusak (hilang, mati); tidak kekal.
Fani : selalu dapat musnah (rusak, mati).
G. Galaurat : menjadi galau
Gana : kaya.
Gani : kaya.
Girat : keinginan
Gundah gulana:sangat sedih; sedih dan lesuh.
H. Halang :rintangan.
J. Jelarum :jarum (dalam jumlah banyak).
K. Kacak : angkuh.
Kalam : perkataan; kata (terutama bagi Allah).
Kati : ukuran berat yang berbobot 6,25 ons.
Kelana : mengadakan perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu.
Kelatu : ketok di kepala dengan buku tangan
Kelikir : terbelenggu (dikuasai oleh orang); tidak menghargai sesuatu
Kemala : batu yang indah dan bercahaya (berasal dari binatang), banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.
Kutuan : perkumpulan perniagaan
L. Lara : sedih; susah hati; sakit dan malu
Lata : buruk, kotor, hina.
Lumat : halus benar.
M. Malaya : nama seseorang
Mamang : kabur pandangannya (karena hendak pinsan).
Mega : awan; besar, luas.
Mekin : makin.
Menelaah : mempelajari.
Mudharat : tidak beruntung; menanggung rugi; tidak berhasil.
Mungkir : tidak mengakui.
N. Nisfu : setengah.
P. Perandu : bersama-sama
Pinak : anak cucu, keturunan.
Pirus : batu permata yang berwarna hijau kebiru-biruan atau biru kehijau-hijauan.
R. Radam : redam, remuk.
Ramuk : remuk, hancur berkeping-keping.
Risahkan : gelisah.
S. Sangir : siung, taring.
Sawan : ambil.
Selati : jikalau, sekiranya.
Sembalu : kulit buluh yang tajam seperti pisau.
Setanggir : satu tanggir, satu kesanggupan
Sika : sini.
Suluh : sesuatu yang digunakan.
T. Taksa : mempunyai makna lebih dari satu; ambigu
Tatkala : ketika (itu); pada masa itu; waktu (itu)
Tersemat : sudah disematkan; sudah dicocokkan
Tolan : teman; kawan; sahabat.
BAB 4
AMANAT DAN NILAI MORAL DALAM SYAIR SINDIRAN
SERTA PENGARUHNYA TERHADAP MASYARAKAT
4.1 Pengantar
Naskah Syair Sindiran tergolong naskah berbentuk syair. Naskah tersebut dikatakan sebagai sebuah syair karena bentuknya memiliki ciri-ciri syair, yaitu terdiri dari empat baris, berima a-a-a-a, memberikan nasehat-nasehat kepada pembaca dan menceritakan suatu peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penggolongan jenis syair berdasarkan isinya, meliputi syair panji, syair romantik, syair kiasan, syair sejarah, dan syair agama (Liaw Yock Fang, 1993). Syair panji adalah syair yang mengisahkan kepahlawanan suatu tokoh. Syair ini hanya menceritakan satu cerita saja. Selain itu, syair panji merupakan hasil sastra Jawa yang tidak hanya disukai oleh orang-orang Jawa, salah satu Ken Tambuhan. Syair romantik merupakan syair yang digemari karena mengandung cerita rakyat dan pelipur lara. Biasanya, syair romantic berisikan kisah percintaan, seperti Syair Bidasari, Syair Sinyor Kosta, Syair Putri Akal, Syair Cinta Berahi.
Syair ketiga yaitu syair kiasan atau syair simbolik. Biasanya, syiar ini mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu[28]. Kiasan tersebut dapat ditemukan pada rangkaian kata yang ada di dalam syair. Syair ini juga menngisahkan percintaan antara hewan satu dengan hewan yang lainnya, seperti Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Nyamuk dan Lalat, dan Syair Bunga Mawar. Jenis syair lainnya yaitu syair sejarah. Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah[29]. Peristiwa sejarah yang ada dalam syair ini merupakan peristiwa yang paling penting dan paling utama untuk diketahui oleh masyarakat. Biasanya, peristiwa sejarah yang diceritakan dalam syair ini adalah peperangan, seperti cerita peperangan dalam Syair Perang Mengkasar, Syair Perang di Banjarmasin, Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina, dan Syair Kompeni Welenda Berperang dengan Cina. Jenis syair terakhir adalah syair agama. Syair agama ini tergolong syair yang paling penting, sebab perkara yang ada dalam syair ini bersifat keagamaan yang bisa juga dijadikan pedoman hidup manusia, seperti Syair Takbir Mimpi, Syair Kiamat, dan Syair Perahu (Liaw Yock Fang, 1993).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penulis mengategorikan naskah Syair Sindiran ke dalam jenis syair kiasan (syair simbolik) karena syair ini banyak mengandung kiasan untuk menggambarkan ceritanya. Bentuk kiasan tersebut terlihat dalam kata-kata yang ditulis pada syair ini. Kata-kata yang menunjukkan kiasan tersebut berfungsi untuk menyindir secara halus mengenai perbuatan yang dilakukan oleh tokoh dalam syair ini serta sebagai bentuk perlambangan atau perumpamaan mengenai keadaan yang sedang dialami seseorang dalam naskah ini, misalnya saat seseorang merasakan sakit hati yang begitu dalam tersirat dalam kutipan berikut ini:
Sakitnya badan bukan kepalang
Laksana [h]ayam disembur halang/
Rasanya nyawa bagaikan hilang
Sakitnya sampai ke tulang/
Kiasan yang ada pada naskah ini merupakan kiasan secara tak langsung karena perlambangannya dihubungkan dengan kata-kata bagai, bagaikan, dan laksana.
Naskah ini sudah pernah disunting oleh Sanwani di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penulis mendapat informasi bahwa jenis naskah ini telah dibicarakan oleh beberapa peneliti, misalnya H. Overberk yang pernah menerbitkan versi Syair Burung Pungguk dalam JSBRAS vol. 67. Selain itu, Proyek Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga pernah menerbitkan suatu antologi mengenai Syair Simbolik.
Naskah ini mengandung kiasan atau simbolik yang menggambar suatu peristiwa yang terjadi pada saat naskah Syair Sindiran ditulis. Sebuah syair selalu mengandung amanat yang terkandung di dalamnya. Oleh karena amanat yang terkandung di dalamnya, naskah ini mempunyai pengaruh terhadap masyarakat saat naskah tersebut ditulis. Oleh karena itu, pembahasan naskah ini mencangkup amanat dan nilai moral yang terkndung dalam naskah Syair Sindiran serta pengaruh naskah Syair Sindiran terhadap masyarakat pada zaman di mana naskah tersebut dituliskan.
4.2 Amanat yang terkandung dalam Syair Sindiran
Amanat yang terkandung dalam naskah ini merupakan ketulusan dalam menjalin hubungan.Jalinan hubungan yang tidak dilandasi dengan ketulusan akan mengakibatkan penderitaan. Dalam menjalin hubungan antrmanusia harus dilandasi dengan ketulusan dan kerendahan hati. Suatu hubungan yang dilandasi dengan niat yang tidak baik (memanfaat) akan berdampak penderitaan baik orang yang memanfaat kebaikan atau ketulusan orang lain maupun orang yang dimanfaatkan. Hal ini tercermin dalam kutipan:
Siapakah lagi dibuat kawan
Sahabat yang rapat menjadi lawan//
Mekin dipun(g)kir bertambah rawan
Sahabat sudah nasib untung kutuan/
Daripada tidak emas dipegang
Sahabat yang rapat menjadi renggang/
Sampailah nisfu rupanya dagang
Sakitnya badan bukan kepalang
Laksana [h]ayam disembur halang/
Rasanya nyawa bagaikan hilang
Sakitnya sampai ke tulang/ [30].
Amanatyang terkandung dalam naskah dapat dijadikan pedoman hidup bagi pembaca. Dalam naskah tersebut juga terdapat nilai moral yang dapat menjadi amanat bagi pembaca. Nilai moral yang terkadung harta dapat membutakan seseorang. Dalam naskah ini dikisahkan bahwa seseorang ditinggalkan sahabat dan saudaranya karena ia sudah tidak memiliki harta lagi. Hal ini menunjukan betapa munafiknya seseorang yang menjadi baik hanya karena harta.
Lagi dahulu sahabat mencari
Kiri dan kanan datang menengkuri/
Zaman itu dhaif sa[ha]ya
Daripadanya tidak (ada) harta dunia/
Jikalau pada orang yang kaya
Bertambah dhaif romannya dia/
Lain sekalian mana sekarang
Duit dan emas dimalukan orang/
Bangsa yang baik sudahlah kurang
Karna tidak menaruh barang[31]
Orang yang ditinggalkan oleh sahabat dan saudara tersebut menjadi sakit-sakitan. Hal ini tergambarkan pada kutipan di halaman dua:
Sakitnya badan bukan kepalang
Laksana hayam disembur halang/
Rasanya nyawa bagaikan hilang
Sakitnya sampai ke dalam tulang/
Sakitnya badan tidak terkira
Siang dan malam menanggung lara/
Nasib piatu dagang ju(h)ara
Laksana rusak di dalam penjara/
Rusaknya hati bukan sedikit
Engkaunya sekalian tidak terbangkit/
Dendam mana tawan jadi penyakit
Dari sini dapat diketahui bahwa sahabat dan saudaranya itu telah melakukan pengkhianatan dalam menjalin hubungan yang seharusnya terjalin dengan ketulusan bukan karena harta. Karena sudah tidak memiliki harta, sahabat dan saudara, orang tersebut mengakui bahwa dirinya sudah tidak berguna. Hal ini telah menunjukkan betapa rendahnya orang-orang tersebut.
Dari penjelasan di atas, amanat yang dapat diambil adalah dalam menjalin hubungan dengan antarmanusia haruslah dengan ketulusan bukan hanya karena harta. Nilai moral yang terkandung juga di dalamnya dapat menjadi pelajaran dan penerapan di kehisupan sehari-hari untuk memperoleh kebaikan dalam hal hubungan antarmanusia.
4.3 Pengaruh Naskah Syair Sindiran Terhadap Masyarakat
Dari penjelasan sebelumnya mengenai amanat dan nilai moral yang terkandung di dalamnya, naskah ini mempunyai pengaruh pada masyarakat zaman naskah ini ditulis. Pengaruh tersebut adalah naskah ini menjadi pedoman dalam menjalin hubungan antarmanusia. Dengan amanat yang disampaikan dalam naskah ini, masyarakat mengambil hikmah untuk tidak menjalin hubungan hanya berdasarkan harta semata. Jika menjalin hubungan antarmanusia hanya harta semata akan menimbulkan penderitaan baik orang itu sendiri ataupun orang yang dimanfaatkan. Dari judul naskah ini (Syair Sindiran), sang pembuat naskah ini menyampaikan pesan (sindiran) kepada orang-orang yang menjallin hubungan karena mengincar harta. Naskah ini menjadi pelajaran bagi masyarakat zaman naskah ini ditulis untuk tidak melakukan apa yang dilakukan sahabat dan saudara dalam naskah ini yang meninggalkan atau menghilang setelah sahabat dan saudaranya jatuh miskin. Selain itu, dengan naskah ini, masyarakat mengambil pelajaran untuk pasrah dan tawakal kepada Allah ssat dilanda musibah. Dengan amanat-amanat dan nilai moral yang terkandung di dalamnya, naskah ini menjadi pedoman pelajaran masyarakat. Hal itulah yang membuat naskah ini mempunyai pengaruh naskah Syair Sindiran terhadap masyarakat zaman naskah ini dituliskan.
4.5 Tanggapan penulis
Menurut penulis naskah ini sangat berguna untuk menyadarkan kita akan pentingnya ketulusan dalam menjalin hubungan. Naskah ini menceritakan kelaraan hati seseorang yang bisa saja mewakili manusia yang pernah mengalami penghiatan seorang sahabat dan saudara. Jika kita pahami, isi naskah ini tersirat bahwa sesuatu tidak ada yang kekal dan yang kekal hanyalah Allah dengan segala kekuasaannya. Harta pun akan hilang, seseorang pun akan mengalami kematian merupakan bentuk dari ketidakkekalan. Segala yang kita perbuat di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhiran. Dengan membaca serta memahami naskah ini kita menyadari bahwa kita harus menjadi makhluk Allah yang baik dan taat beribadah, serta tidak hanya memikirkan dunia saja. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa isi naskah ini sangat bermanfaat karena dapat diambil nilai positif yang perlu diterapkan dalam kehidupan manusia.
BAB 5
KESIMPULAN
Pikir sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3. Jakarta: Balai Pustaka.
Budianta, Melanie., dkk. 2006. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2. Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Teuku. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mahmud, Datuk Paduka Ají., dkk. 2003. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Bandar Seri Begawan: Dewan Pustaka dan Bahasa Kementrian Kebudayaan Belin dan Sukan.
Robson, S. O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
LAMPIRAN
Sampul Naskah W. 235
Halaman 1
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Halaman 5
Halaman 6
Halaman 7
Halaman 8
Halaman 9
Halaman 10
Halaman 11
Halaman 12
Halaman 13
Halaman 14
[1] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, 2009:1
[2] Melani Budianta, Membaca Sastra (Jakarta, 2006), hlm. 7-8.
[5] Seharusnya tulang. Hal ini diperkirakan mungkin penyalin melakukan kekeliruan dalam penulisan.
[10] Seharusnya suatu cela. Pertukaran kata tersebut diperkirakan terjadi karena penyalin memperhatikan rima syair ini.
[11] Seharusnya tulang. Hal ini diperkirakan mungkin penyalin melakukan kekeliruan dalam penulisan.
[12] Dalam bahasa Arab adalah dibaca girah.
[13] Seharusnya makin. Dalam naskah ini penyalin tidak konsisten menulis kata ’makin’.
[15] Kata wa ya dihilangkan karena tidak memiliki arti
[16] Dua baris terakhir bait ini tidak ditulis oleh penyalin karena diperkirakan penyalin melakukan pelompatan penulisan atau yang disebut dengan sau de meme au meme.
[18] Kata ini belum ditemukan artinya.
[19] Tidak ada kata wa ya
[20] Tidak ada kata wa ya.
[21] Ibid.
[22] Diperkirakan kata ini tidak memiliki arti.
[23] Dalam bahasa Arab dibaca galaurah.
[24] Seharusnya menelan
[25] Seharunya alih
[26] Mungkin maksudnya putih.
[27] Seharusnya remuk.
[29] Ibid.,hlm.227.
terima kasih, sudah diizinkan copy
BalasHapusBagus sekali ulasannya. Terima kasih.
BalasHapus